-->
  • Jelajahi

    Copyright © Bedadung
    media news network

    Iklan

    Iklan Beranda

    Mengulik Sejarah Terpendam Lewat Nisan Djemilah Birnie

    , November 10, 2020 WIB
    Foto: ​Ilustrasi Makam Djemilah Birnie, hasil jepretan sendiri 2011 (Mashuri-red) 

     catatan pagi ​oleh: Mashuri*

    Terdapat sebuah makam unik di Desa Maesan, Kecamatan Maesan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Secara arsitektural, tata bangun makamnya bercorak Belanda tempo doeloe. Namun, posisinya membujur dari arah utara ke selatan, yang menjadi ciri makam seorang muslim. Itulah peristirahatan terakhir Djemilah Birnie, perempuan keturunan Madura yang dinikahi orang Belanda sebelum Indonesia merdeka. Makam tersebut sering dikelirukan sebagai kuburan isteri George Birnie, tokoh yang turut membangun kota Jember menjadi modern, yaitu Rabina Birnie, padahal Rabina dan Djemilah adalah dua orang berbeda, meskipun sama-sama berdarah Madura. 

    ​Pada penghujung tahun 2011, saya bersama Om Siswanto dan Prof. Sukatman, dua dosen mbois dari Universitas Jember, sambang ke makam tersebut. Meski hanya berupa makam di tengah areal sawah, ternyata menyimpan jejak panjang lika-liku anak manusia. Ketika diulik lebih jauh, kita disuguhi informasi masa lalu yang tidak terdapat dalam buku-buku, bahkan sebagian sudah terhapus dari ingatan kolektif kita. Sebagaimana nama keluarga yang tersandang di belakang nama Djemilah: Birnie, makam itu terkait dengan George Birnie, pria Belanda yang masih punya darah Skotlandia, yang dalam sejarah tercatat: turut membidani kelahiran Jember sebagai kota perkebunan dengan produk yang paling diminati di dunia waktu itu: tembakau, cokelat dan kopi.

    ​Sejarah keluarga George Birnie dapat ditelusuri dari tulisan seorang cucu buyutnya, yaitu Alfred Birney. Alfred dikenal dunia sebagai seorang penulis terkemuka Belanda dari generasi mutakhir, yang mengusung isu-isu tentang identitas diri poskolonial. Tahun kemarin, ia mendapatkan anugerah kesusastraan tertinggi di Belanda. Ia sudah menghasilkan cukup banyak novel tentang pencarian jati diri seorang anak keturunan dari berbagai ras dengan latar belakang masa-masa kolonial. Bahkan, dua novelnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pertama, “Tidak Ada Burung” (Galang Press, Yogyakarta, 2002) dari novel berbahasa Belanda “Vogels rond een vrouw”. Satunya lagi “Ikan Tidak Salah” (Galang Press, Yogyakarta, 2004) dari novel berbahasa Belanda “De onschuld van een vis”.  

    ​Alferd adalah cucu William Birnei, salah satu anak George Birnei yang lahir di Jember pada tahun 1868. Ayah Alferd adalah Adolf Sie, seorang peranakan Melayu-Tionghoa. Karena isteri George Birnei, Rabina Birnei, adalah perempuan Madura, maka yang mengalir dalam diri Alfred adalah darah Belanda, Madura, Skotlandia, Melayu, dan Tionghoa. Bisa jadi, karena ejaan kekinian menyaran bahwa “I” di belakang menjadi “y”, atau terkesan lebih keren dan marketabel, nama keluarga Alfred, yaitu Birnei diubah menjadi Birney.  

    ​ 

    ​Menurut Alferd, kakek buyutnya, George Birnie, berlayar dari Belanda menuju Hindia Belanda pada awal abad ke-19, ketika 'Tanam Paksa' mencapai puncaknya. Ia berasal dari kota Deventer dan masih ‘sorangan wae’, alias belum menikah. Di Hindia Belanda, ia ditempatkan sebagai pegawai pemerintah di Distrik Jember, sebagai controleur pertanian. Ia lalu menikah dengan wanita pribumi bernama Rabina. Menurut bibi Alfred, Rabina berasal dari Jawa Timur. Ayah Alfred memberi penjelasan lebih rinci tentang Rabina bahwa isteri George Birnie itu berasal dari Madura, puteri pasangan Grimin dan Sayeh. Tentu saja, pernikahan mereka tidak di Madura tetapi di Jember, karena pada masa itu sudah banyak pendatang Madura di Jember yang bekerja pada perkebunan.

    ​Langkah yang diambil George Birnie termasuk mendahului zamannya. Pasalnya, pria Belanda menikah secara sah dengan wanita pribumi adalah hal tidak biasa. Yang sering kali terjadi adalah banyak pria Belanda memelihara gundik dari perempuan pribumi yang sering disebut nyai. Ihwal nyai dan pergundikan di Hindia Belanda telah diteliti dengan sangat apik oleh Reggie Baay dalam bukunya “De Nyai, Het Concubinaat in Nederlands-Indie” (Amsterdam, 2009) --dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia-- yang menggurat sejarah kelam nyai-nyai di Hindia Belanda. 

    ​Dari rahim Rabina, lahir delapan anak keturunan George Birnie. Kedelapannya dikirim ke Belanda untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak. Anak pertamanya bernama David Birnie, dipanggil David, dan pernah bekerja di Ijen Plateu Bondowoso. Pada perkembangannya, Rabina juga hijrah ke Belanda, diboyong George Birnie, ketika ‘hak pengelolaan tanah’-nya habis. Di sana, George memimpin perusahaan Birnie, perusahaan milik keluarganya.

    ​Pada tahun 1850, George Birnie kembali ke Jember setelah mendapatkan hak erfpacht atau hak guna usaha. Ia lalu mendirikan NV. Landbouw Matscapay Out Djember (NV LMOD). LMOD mengalami kemajuan luar biasa, terutama untuk komoditi tembakau. George Birnei bahkan tercatat sebagai keluarga kaya pada waktu itu. Ia juga memboyong kembali beberapa keluarganya ke Jember, di antaranya adalah beberapa anaknya. Ia juga memboyong Gerhard David Birnei, saudara sepupu yang berasal dari Groningen Belanda. Gerhard David Birnie menjadi partner kerja George selama 15 tahun. Gerhard David Birnie ini juga mengambil perempuan Madura sebagai isterinya, bernama Djemilah, yang selanjutnya disebut Djemilah Birnie. Makam Djemilah inilah yang berada di Maesan, Bondowoso. 

    ​Hingga kini, makam Djemilah masih tampak terawat, meskipun ketika saya ke sana, ditumbuhi semak-semak dan tumbuhan liar. Makamnya berada di tengah areal persawahan di tepi jalan raya Bondowoso—Jember. Lokasinya menempati sebidang tanah seluas kurang lebih 10 meter x 20 meter, dengan ditumbuhi banyak pohon kamboja tua. Di dalamnya, terdiri atas makam utama Djemilah Birnie dengan tata bangun seperti makam Belanda, tetapi membujur dari arah utara ke selatan--yang menunjukkan bahwa yang dikubur adalah orang Islam. Di sekitarnya, terdapat empat makam lainnya tanpa penanda nisan, dengan posisi sama dengan makam Djemilah, membujur dari utara ke selatan. Pada nisan makam Djemilah Birnie terpahat epitaf berupa tulisan “Hier Rust Djemilah Birnie, Geb: 30 Juni 1845. Overl: 14 April 1906”. Artinya kurang lebih begini “Di sini beristirahat Djemilah Birnie, lahir: 30 Juni 1845, wafat: 14 April 1906”. 

    ​Sebagaimana disinggung di atas, banyak yang keliru menganggap bahwa makam tersebut sebagai isteri George Birnie, karena ada nama keluarga Birnie di belakangnya. Di sisi lain, ada dugaan kuat bahwa toponim nama desa tersebut “Maesan” berasal-usul dari keberadaan nisan Djemilah Birnie, imigran generasi madya dari Madura, yang diperistri secara sah oleh saudara sepupu George Birnie. Buktinya, nama keluarga Birnie dicantumkan di belakang namanya. Hanya saja, ada pendapat lain yang berbeda dan menyatakan bahwa nama daerah “Maesan” sudah lebih dulu ada karena kawasan Maesan dikenal sebagai surga situs prasejarah, dan banyak ditemukan kubur batu. Perlu diketahui, pada masa-masa itu, Jember masih berstatus distrik di bawah afdeeling Bondowoso. Baru pada 1 Januari 1929, Jember mengalami perubahan status dari yang semula distrik menjadi regentschap atau kabupaten sendiri. 

    ​Kenapa Djemilah dimakamkan di sana? Berdasarkan penelusuran, kemungkinan besar bangunan tua di dekat makam, yang kini menjadi kantor sebuah instansi, merupakan rumah keluarga Gerhard David Birnie. Jika dugaan itu benar, Djemilah dimakamkan di tanahnya sendiri, dekat dengan rumah yang ditinggalinya dan itu sangat masuk akal, karena ada sebagian orang Madura yang menguburkan jasad kerabatnya di tanahnya sendiri. Namun, belum ada sumber resmi yang membenarkan kisah lisan tersebut. Sementara itu, ihwal akhir kisah suami Djemilah, yaitu Gerhard, tidak diketahui. 

    ​Sementara itu, George Birnie meninggal dunia di Belanda. Ia mendahului isterinya, Rabina, dan dimakamkan di Belanda. Tidak ada kejelasan di mana Rabina meninggal dunia dan di mana kuburnya. Menurut Alfred –sang novelis, pada sisa hidup Rabina, setelah kematian suaminya, Rabina begitu berharap kembali ke Hindia Belanda. “Aku berharap itu yang terjadi, karena kata orang-orang Indo yang sudah tua, tanah di Hindia Belanda lebih hangat”, demikianlah untaian kalimat Alfred dalam novelnya, mewakili gundah buyutnya, Rabina. 

    ​Yang luput dari catatan para penulis sejarah Birnie adalah ia berwawasan luas dan berjiwa 'nasionalis'. Tercatat, dialah yang memberi pinjaman uang sejumlah 5.000 gulden pada tokoh kebangkitan nasional dr. Soetomo untuk mendirikan gedung dan memulai aksi pergerakan untuk menyadarkan rakyat Indonesia pada pentingnya nasionalisme dan kemerdekaan bangsa pada tahun 1908 di Bubutan Soerabaia, dengan penandatanganan surat hutang. Namun, begitu surat hutang sudah ditandatangani dr. Soetomo, dengan penuh kesadaran George Birnie menyobek-nyobeknya di depan banyak orang.

    ​Demikianlah. Gituh ajah. 

    ​MA

    ​On Siwalanpanji, 2019

    -------------------------------------------------

    ​*`​Mashuri lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Buku puisinya antara lain Pengantin Lumpur (2005), Munajat Buaya Darat (2013), dan Dangdut Makrifat (2018). Ia bekerja sebagai peneliti sastra di Balai Bahasa Jawa Timur. Hubbu adalah judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat sebagai juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta, tahun 2006.

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Wisata

    +