-->
  • Jelajahi

    Copyright © Bedadung
    media news network

    Iklan

    Iklan Beranda

    Selayang Pandang: Dari Nusa Barong Menjadi Jember

    , Januari 12, 2021 WIB

     

    source: leidenuniv.nl

    Oleh: Dwi Pranoto*

     

    Masyarakat Jember masa lalu tak dapat dibayangkan sebagai suatu masyarakat yang sepenuhnya terintegrasi ke dalam suatu sistem kebudayaan yang padu.

     

    Gelombang migrasi dengan latar sosial dan kebudayaan yang beragam yang disertai kekuasaan politik sebagai faktor penentu utama dalam penggorganisasian sosial membuat pembauran sosial dan budaya tak dapat sepenuhnya terjadi – bahkan jejaknya sampai hari ini masih kita saksikan seperti pengelompokan besar etnis Madura di sebelah Utara dan etnis Jawa di sebelah selatan, pun pada produk-produk budaya yang terpisah sampai hari ini, walaupun juga berkembang dialek Jawa-Jemberan di antara bahasa Jawa dan Madura yang masih terus dipraktikan di tengah masyarakat hari ini – . 

     

    Pola migrasi yang mengikuti mobilisasi untuk kepentingan ekonomi dan penempatan-penempatannya pada kantong-kantong ekologi perkebunan yang teradministrasi tampaknya membuat rintangan atau batasan interaksi sosial yang terus menerus antar kelompok masyarakat.

     

    Faktor utama pembentuk masyarakat Jember pada dasarnya adalah kekuasaan politik yang mengorganisir kepentingan-kepentingan ekonomi yang telah sejak masa kolonial menempatkan masyarakat sebagai entitas yang teradministrasi. Tentu saja, proses pembentukan masyarakat Jember bukan berlangsung satu arah, tapi bersifat timbal-balik. 

     

    Namun demikian, modal sosio-kultural yang sejak awal dilemahkan dengan menyekatnya dalam ruang-ruang ekologi dan administrasi membuat kekuataan oposisional yang merupakan respon terhadap kekuatan politik dominan lebih banyak bersifat laten dan non-frontal serta menyebar. Karakter resistensi semacam ini tampaknya sebagian besarnya terus berlanjut sampai hari ini. 


    Sebelum berdirinya perusahaan perkebunan pada abad 19 wilayah Jember hampir-hampir tidak diketahui. Informasi mengenai Jember hanyalah serpihan-serpihan kecil yang berserak dalam kajian tentang Blambangan. 

     

    Sementara, kajian tentang Blambangan terlalu sedikit jika dibandingkan dengan wilayahnya yang pernah membentang dari Probolinggo sampai Banyuwangi dan dari Pantai Utara sampai Pantai Selatan, yang keberadaannya dikabarkan dalam kronik-kronik lokal lebih kurang seumur dengan Majapahit.

     

    Hal ini, tentu saja, menjadi suatu kesulitan untuk menggali lebih jauh mengenai masa lalu masyarakat Jember sebagai suatu “kesatuan” sosial di mana sistem kebudayaan yang dihayati memberikan arah untuk tindakan-tindakan ekonomi.

     

     

    Nusa Barong 1772 – 1777, barangkali sedikit dapat memberikan gambaran bagaimana suatu kelompok masyarakat menyelenggarakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. 

     

    Upaya memahami Nusa Barong pada masa tersebut, bagaimanapun, tidak dapat dilepaskan dari peristiwa-peristiwa sebelumnya yang mempengaruhi keberdaannya. Pecahnya Perang Bayu 1771 -1773 telah mengganggu, menghancurkan, dan kemudian mengubah sistem perdagangan regional yang bertumpu di Pelabuhan Pangpang. 

     

    Para pedagang diaspora; Mandar, Bugis, Bali, Cina, dll; yang sebelum pecah perang merupakan pelaku-pelaku ekonomi yang menjadi tulang punggung Pelabuhan Pangpang terancam dengan sistem monopoli VOC. 

     

    Perdagangan relatif bebas, dengan hanya intervensi yang minim dari kekuasaan politik – negara/kerajaan –, yang terselenggara di Pangpang berantakan dengan serbuan VOC. 

     

    Para pedagang yang terancam kepentingannya, secara langsung maupun tidak bergabung dengan kekuatan Bayu untuk melawan VOC. 

     

    Berakhirnya Perang Bayu, jatuhnya Blambangan dan diikuti dengan berlakunya sistem monopoli di Blambangan, terutama di Pelabuhan Pangpang, mendorong para pedagang untuk keluar dari Blambangan. 

     

    Nusa Barong dipilih sebagai pelabuhan bebas baru menggantikan Pangpang, salah satunya karena keuntungan alamnya – letaknya relatif terpencil dan pantainya yang berbukit-bukit terjal membuat akses menuju dan ke dalam pulau menjadi sulit –. 

     

    Lebih kurang selama delapan tahun Nusa Barong menjadi pelabuhan bebas yang mewadahi para pedagang dari berbagai etnis dengan komoditas seperti bahan pangan, senjata, candu, kain, sarang burung dan lilin. 

     

    Dalam kurun lebih kurang delapan tahun, Nusa Barong paling tidak mengalami empat kali pergantian kepemimpinan – dari Sindukapa ke Sindubromo ke Juragan Jani ke Nakhoda Sabak –, hal ini menggambarkan tingginya dinamika sistem ekonomi politik “bebas” di Nusa Barong.

     

    Konflik yang berujung pada pembunuhan (perang) dan pelarian diri menjadi mekanisme internal untuk mencapai ekuilibrium sistemik. Jika kita asumsikan Nusa Barong sebagai suatu unit politik dan unit ekonomi, hubungan antara ekonomi dan kekuasaan politik sui generis dalam bentuk negara di Nusa Barong boleh dikatakan tak terpisahkan. 

     

    Hal ini berbeda dengan di Blambangan, di mana unit ekonomi dengan kekuasaan politik terpisah dan hubungan keduanya diantarai oleh pajak dan upeti. Pengusasa Nusa Barong selain sebagai penguasa ekonomi juga sekaligus penguasa politik.

     

    Penaklukan Nusa Barong tahun 1777, setahun kemudian dibumi hanguskan (18 Agustus 1778), boleh dikatakan merupakan keberhasilan VOC (Belanda) menstandarisasi sistem ekonomi, khususnya di seluruh Pulau Jawa. Hal ini menjadi semacam prakondisi untuk datangnya sapuan transformasi lebih besar pada abad 19: liberalisasi ekonomi. 

     

    Bercokolnya VOC mengubah sistem ekonomi yang telah berlaku berabad-abad; hubungan perdagangan yang relatif bebas dari kekuasaan politik membuat arus perdagangan bergerak bebas tanpa secara ketat mengindahkan batas-batas kedaulatan yang melahirkan beragam sistem perdagangan lokal pada akhirnya terseragamkan sebagai sistem ekonomi kolonial yang monopolistik. 

     

    VOC yang berperan laksana negara tidak hanya mengatur penyerahan upeti atau pajak, namun sekaligus memberlakukan peraturan monopolistik di mana orientasi perdagangan luar negerinya mendesakan ketersediaan komoditas-komoditas ekspor dari tanah jajahan. Penghancuran total Nusa Barong pada tahun 1778, disamping karena pulau yang mereka sebut pulau miskin tersebut menjadi sarang para pengganggu keamanan kegiatan perdagangan juga karena hasil sarang burung dan lilin yang bernilai sebagai komoditas ekspor tidak memenuhi kuota ekonomis.

     

    Pengambilalihan VOC oleh pemerintah Belanda, yang berarti pengelolaan Hindia Belanda berada langsung di bawah pemerintahan Belanda, hampir tak mengubah sistem ekonomi yang diinstal oleh VOC, bahkan mengintensifkan dan memperluasnya. 

     

    Kebijakan tanam paksa pada masa pemerintahan konservatif dan disusul gelombang privatisasi berlandas UU Agraria 1870 pada masa pemerintahan liberal, bagaimanapun, dapat dibaca sebagai semakin gencarnya penggalakan orientasi ekspor. Kebijakan tanam paksa dan kemudian disusul dengan privitasasi dalam bentuk beroperasinya perusahaan-perusahaan perkebunan swasta mengubah pola tanam dari yang lebih berorientasi subsisten ke pola tanam komersial, mengubah sistem penguasaan atas tanah, dan mengubah hubungan produksi dalam masyarakat.

     

    Membuka Jember

    Perang Bayu tampaknya menjadi faktor penting dalam pembentukan Jember. Salah satu perang paling brutal dan kejam di Nusantara pada abad 18 itu tak hanya mendampakan jatuhnya Blambangan, tapi juga merosotnya jumlah penduduk sampai hanya tersisa kurang lebih 10% karena mati dalam perang, wabah penyakit, kelaparan, dan migrasi ke luar wilayah. 

     

    Pasca perang Bayu juga dilakukan reorganisasi administratif yang memisahkan Blambangan menjadi Blambangan Timur dan Blambangan Barat. Blambangan Barat terbagi menjadi empat distrik: Sentong (sekarang Bondowoso), Jember, Prajekan, dan Sabrang. Reorganisasi administrasi ini penting artinya bagi VOC untuk menciptakan keteraturan dan ketentraman sebagai suatu kondisi yang dibutuhkan untuk memaksimalkan nilai ekonomi suatu wilayah. 

     

    Pemisahan Blambangan Barat sebagai unit administratif tersendiri dilandasi oleh karakter kultural penduduknya – menurut Pieter Luzac penduduk Blambangan Barat yang telah banyak memeluk Islam tidak memiliki karakter liar sehingga relatif mudah ditertibkan –, dan potensi komoditasnya. 

     

    Berbeda dengan wilayah Blambangan Timur yang selama beberapa tahun tidak dikenakan pembayaran pajak dan upeti, Blambangan Barat, melalui mantri-mantri yang mengepalai distrik setiap tahun diwajibkan membayar upeti dengan total mengirim 3 koyan beras (kira-kira 30 pikul atau lebih kurang 6 ton beras), 1½ pikul lilin (lebih kurang 1 kwintal), 1 pikul merica (lebih kurang 67 kg), dan ½ pikul kapas (lebih kurang 33 kg) ke benteng VOC di Adiraga, Panarukan, dan Lumajang. 

     

    Kewajiban membayar upeti sebesar itu, dengan jumlah penduduk 400 jiwa (terdiri dari orang tua laki-laki dan perempuan serta anak-anak) dan tanpa tekhnologi pertanian yang memadai, tentu sangat memberatkan. Belum lagi harus mengirim ke benteng VOC dengan akses jalan yang sebagian besarnya tak dapat dilalui pedati. 

     

    Awal abad 19 ditandai dengan berbagai gejolak di dunia Internasional yang mempengaruhi kebijakan kolonial di Indonesia. Likuidasi VOC yag disertai dengan penyerahan wilayah kolonial ke Pemerintah Belanda dibayang-bayangi oleh kecamuk perang di berbagai wilayah Eropa dan semangat liberalisme yang dihembuskan oleh keberhasilan Revolusi Prancis. Pada saat yang sama Belanda yang diduduki Prancis berperang melawan Inggris. 

     

    Perdebatan antara kaum liberal dengan kaum konservatif mengenai bagaimana Belanda mengelola tanah jajahan berlangsung seru. Kaum liberal menghendaki politik di tanah jajahan yang berlandas kebebasan dan kesejahteraan umum dengan menerapkan sistem pajak menghadapi tentangan dari kaum konservatif yang cenderung mempertahankan politik dagang VOC dengan sistem tanam wajib atau penyerahan wajib (upeti). 

     

    Meskipun kaum konservatif menguasai pemerintahan Belanda, namun kebijakan pemerintahan tanah jajahan di Hindia Belanda boleh dikatakan cenderung liberal dengan upaya menginstal sistem birokrasi modern. Namun demikian liberalisme yang hendak diterapkan Gubernur Jendral Daendles (1808 – 1811), yang dibayang-bayangi oleh ancaman Inggris dan bangkrutnya kas negara, memaksanya tetap menerapkan penyerahan wajib seraya melakukan eksperimen menjual banyak lahan kepada orang-orang Cina. 

     

    Pada masa pengganti Daendles, saat Belanda dikuasai Inggris, Raffles (1811 – 1816) yang juga liberal membeli kembali lahan-lahan yang telah dijual Daendles kepada orang-orang Cina karena memicu banyak kerusuhan yang disebabkan oleh penghisapan dan penindasan. 

     

    Raffles juga mengganti kebijakan penyerahan wajib dengan sistem pajak tanah (landrent system). Jika Daendles mengekspresikan liberalisme dengan menekankan pada pembentukan sistem birokrasi yang hirarkis untuk memangkas otoritas feodal guna efisiensi pemerintahan, Raffles bergerak lebih dalam dengan menekankan hak perorangan melalui privatisasi atau mengakui hak atas tanah misalnya. Namun demikian, keduanya tidak dapat menyelamatkan krisis finansial yang kemudian semakin amblas setelah Perang Jawa (Diponegoro) 1825 -1830 dan perang dengan Belgia. 

     

    Naiknya Van den Bosch yang menghabisi hampir seluruh gagasan liberalisme dengan kembali menerapkan merkantilisme VOC, bahkan lebih luas dan dalam, melalui kebijakan tanam paksa dan menghidupkan kembali “birokrasi” feodal, tidak hanya berhasil menyelamatkan krisis finansial, bahkan memakmurkan kerajaan Belanda melalui penghisapan tanah jajahan yang memiskinkan masyarakat pribumi. Max Havelaar, of de koffi-vellingen der Nederlandsche Handel-Maatschappy (1860), novel karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker), dapat menjadi gambaran umum bagaimana sistem tanam paksa van den Bosch memeras tenaga rakyat melalui tangan aristokrasi lokal yang kejam. 

     

    Apa yang perlu diperhatikan dari pemaparan singkat satu abad di atas, sekitar paruh abad 18 sampai paruh abad 19, adalah lenyapnya perdagangan bebas yang secara relatif berlangsung tanpa sekat-sekat otoritas politik. 

     

    Hancurnya Nusa Barong sebagai basis perdagangan bebas dan elan egalitarian menjadi semacam monumen simbolik tibanya periode sistem tuan-kawula, sistem majikan-buruh dalam kehidupan ekonomi yang hampir-hampir tanpa alternatif jalan keluar. Setelah padamnya perlawanan Nusa Barong era ketentraman menggenang di Blambangan Barat yang tak lain merupakan upaya pelestarian status quo yang menjadi syarat bagi pertumbuhan ekonomi corak kapitalistik. 

     

    Tercatat hanya ada satu gangguan keamanan serius di wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Jember sepanjang satu abad, yakni pemberontakan Aria Gladak (1815) dari desa Keting yang tampaknya membasis pada gagasan kosmologis Ratu Adil. Tapi pemberontakan Aria Gladak hanya berumur “semalam”, jauh jika dibandingkan dengan perlawanan Nusa Barong yang berlangsung bertahun-tahun. 

     

    Pemisahan Blambangan Barat sebagai unit administrasi tersendiri, saya kira, menjadi faktor penting untuk menjaga ketentraman sebagai syarat untuk menggerakan roda ekonomi kolonial. Hindia Belanda, di mana Blambangan Barat atau kurang lebih wilayah Jember saat ini berada di dalamnya, beserta masyarakat penghuninya, bagaimanapun dipandang sebagai modal besar bagi negeri penjajah untuk bersaing dalam perlombaan merkantilitis bangsa-bangsa Eropa yang semakin sengit pada masa senjakalanya yang dengan susah payah menahan sapuan liberalisme yang rekah fajarnya ditandai oleh Revolusi Prancis dan Revolusi Industri. 

     

    Berakhirnya tanam paksa atau cultuurstelsel atau cultivation system yang menyengsarakan menyusul kemenangan kaum liberal di Belanda pada pertengahan abad 19 menjadi babak baru dalam pengelolaan tanah jajahan di mana peran negara yang semula menjadi regulator dan operator ekonomi berubah belaka menjadi regulator yang memastikan berjalannya sistem ekonomi liberal melalui perusahaan-perusahaan swasta sebagai operatornya. 

     

    Liberalisasi di Jember tidak hanya ditandai dengan berdirinya perusahaan perkebunan partikelir, NV Landbouw Maatschappij Oud-Djember (LMOD), tahun 1859, tapi juga pembukaan ruas-ruas jalan dan jalur rel kereta api, pembuatan irigasi, pembangunan fasilitas layanan kesehatan, penataan sistem birokrasi, penataan relasi produksi, dan semakin meningkatnya peran lembaga-lembaga keuangan. Berlakunya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870, walaupun memuat juga perlindungan tanah bagi para pribumi, boleh dikatakan sebagai pembuka jalan untuk komodifikasi tanah. Liberalisme, bagaimanapun, mendorong terwujudnya komodifikasi tanah (alam) dan tenaga manusia. Dapat dibayangkan ribuan hektar hutan, yang berstatus tanah negara, dibuka dan berubah menjadi lahan perkebunan melalui pemberian hak erfpacht (hak guna usaha) pada pengusaha yang di dalamnya terkandung hak eigendom (hak milik) sehingga dapat diagunkan dan diwariskan. 

     

    Apa yang sangat diperlukan untuk membuka hutan, mempersiapkan lahan perkebunan, dan mengolah lahan perkebunan adalah tenaga manusia. Oleh karena penduduk Jember pada masa itu tak mencukupi untuk memenuhi permintaan tenaga kerja, maka didatangkanlah buruh-buruh dari luar Jember. 

     

    Pada awalnya, saat perkebunan tembakau digarap pada lahan kering, buruh dari Madura banyak didatangkan karena dianggap cakap menggarap tanah tegalan. Kemudian juga didatangkan buruh orang Jawa saat perkebunan tembakau digarap di lahan basah, yang ternyata lebih berhasil.   

     

    Pembukaan perkebunan yang besar-besaran di Jember memerlukan tenaga buruh yang besar-besaran juga. Hal ini menjadi masalah tersendiri, kelangkaan tenaga buruh memicu persaingan antar perusahaan untuk mendapatkannya. “Pembajakan” tenaga buruh antar perusahaan mendorong perusahaan-perusahaan untuk bersama-sama memprakarsai Besuki Immigration Bureu (BIB) yang fungsi pokoknya adalah mencukupi kebutuhan tenaga buruh bagi perusahaan. 

     

    Pendirian BIB bukan saja mengubah jalur rekrutmen tenaga buruh dari makelar menjadi kelembagaan, namun juga sekaligus mengubah hubungan antara perusahaan dan buruh yang semula diantarai oleh personal menjadi diantarai oleh prosedur administratif, kontrak kerja. Pada kenyataannya perubahan perekrutan tenaga buruh dari informal menjadi formal kurang berhasil. Namun usulan untuk mengontrol buruh secara ketat dan keras oleh perusahaan melalui pemberlakukan Poenale Sanctie; secara umum berisi ancaman denda dan penjara bagi buruh yang lari, meninggalkan pekerjaan, dan mengabaikan pekerjaan; tidak disetujui. Pemerintah justru menjanjikan sokongan dalam bentuk fasilitas kolonisasi dan layanan kesehatan buruh.

     

    Liberalisasi ekonomi mengubah lanskap dan sosial-budaya di Jember. Secara gradual lahan-lahan di Jember mengalami privatisasi. Melalui klaim negara atas tanah “terlantar” yang luas yang kemudian dapat digarap melalui pemberian hak erfpacht dan penerapan aturan sewa untuk tanah milik penduduk pribumi maka mulailah tanah menjadi barang komoditi. Gelombang para pendatang dari luar Jember untuk menjadi tenaga buruh perkebunan, formalisasi relasi produksi pada perusahaan-perusahaan, dan birokratisasi mengubah sepenuhnya wajah Jember dari wilayah “tak bertuan” yang dihuni kelompok-kelompok masyarakat egaliter yang terpencar menjadi unit politik yang teradministrasi, menjelma jadi kota pada tahun 1883, yang terpisah dari Regentschap Bondowoso. Dan kemudian menjadi Kabupaten pada tahun 1928. 

     

    Berbeda dengan daerah-daerah lain pada umumnya, Banyuwangi misalnya – di mana sentimen aristokratif relatif masih nampak dalam masyarakatnya –, tidak ada kekuasaan aristokrasi yang mempengaruhi relasi sosial dalam masyarakat. Penggambaran Pieter Luzac pada tahun 1773, walaupun tidak tepat benar, dapat menjadi pengenalan awal terhadap masyarakat Jember lama, khususnya kala terpisah menjadi Blambangan Barat. Pengerahan tenaga kerja lokal untuk buruh di perkebunan, misalnya, tidak melalui jalur Patinggi atau Kepala Desa untuk mengumpulkan penduduk. Pada konteks ini, kontrol atau kekuasaan kolonial terhadap masyarakat di Jember tidak menggunakan jalur tradisional. Namun hal ini bukan berarti mudah untuk menginstal sistem birokrasi modern pada masyarakat Jember. Sebab, pada daerah-daerah lain pada umumnya penerapan sistem birokrasi modern pada mulanya diterapkan bersamaan dengan sistem birokrasi tradisional dimana kewenangan yang terkandung dalam sistem birokrasi modern biasanya hanya bekerja efektif pada lingkup kekuasaan aristokratif pada hirarki tertentu, atau sistem birokrasi modern tidak dapat langsung bekerja pada individu-individu dalam masyarakat tanpa bantuan sistem birokrasi tradisional.. Boleh dikatakan di Jember sistem birokrasi modern tidak mempunyai “induk semang” untuk membuatnya segera dapat beroperasi secara efektif. Tentu saja faktor jarangnya penduduk juga menjadi salah satu sebab pentingnya, begitu juga dengan mayoritas penduduk pendatang yang bermukim di Jember setelah banyak berdirinya perusahaan perkebunan.        

     

     

    Resistensi Penduduk Jember

    Sejak dihancurkannya Nusa Barong memang tak lagi ada berkobar perang bertahun. Tapi itu tak berarti penentangan penduduk Jember terhadap upaya-upaya penundukan pemerintah pendudukan absen di sepanjang riwayatnya. Ketiadaan kekuatan yang bertumpu pada kekuasaan aristokrasi dan ekonomi, penentangan atau perlawanan tak lagi mengambil bentuk frontal dengan basis massa yang besar. Perlawanan frontal Aria Gladak yang berlandas pada legitimasi kosmologis barangkali merupakan perlawanan terbuka terakhir yang dapat diperhitungkan meski hanya berlangsung “semalam”. Sekemudian penentangan mengambil bentuk seperti pembangkangan, pengabaian, dan sabotase.

     

    Penentangan non-frontal awal paling kentara pada masa liberalisasi ekonomi adalah ketika pengusaha-pengusaha perkebunan menyewa tanah-tanah pertanian penduduk secara individual. Pemilik-pemilik tanah menerima tawaran sewa lahan, paling lama 5 tahun dan dapat diperbaharui lagi, dari para pengusaha perkebunan. Dalam hal ini para pemilik tanah menyediakan lahan untuk ditanami tanaman-tanaman produksi yang laku di pasaran luar negeri dan mengelolanya. Sementara para pengusaha menyediakan bibit dan membeli hasil panenan dengan harga yang sudah ditentukan secara sepihak dan, tentu saja, memberikan nasehat berkait tekhnologi pengolahan lahan dan perawatan tanaman yang tepat. Namun demikian, para petani pemilik lahan ternyata tidak memenuhi janji sewa lahan yang disepakati. Mereka, para petani pemilik lahan, kerap menerima kontrak lain atas tanah mereka sebelum kontrak pertama habis masa sewanya, sehingga terjadi kontrak ganda atas satu bidang lahan. Hal ini sudah pasti memberikan kerugian pada pengusaha perkebunan. 

     

    Ketika para pengusaha perkebunan mengelola tanah-tanah melalui hak erfpacht, penentangan non-frontal dilakukan oleh para buruh. Para buruh yang didatangkan dari Madura dengan latar belakang kultur tegalan, terlebih saat terjadi persaingan antar perusahaan karena kondisi terbatasnya alokasi tenaga buruh, kerap melakukan pembangkangan “kontrak” dengan meninggalkan lahan yang dikerjakannya dan pindah ke perusahaan lain. Problem ini kemudian berusaha diperbaiki dengan mendirikan BIB untuk mengubah jalur personal (makelar) pendatangan dan pengelolaan tenaga buruh menjadi jalur kelembagaan. Namun demikian, ternyata hal ini tak mengurangi secara signifikan kasus pembangkangan dan pengabaian kerja. Usulan penerapan poenale sanctie, saya kira, mengekspresikan betapa rumitnya persoalan penundukan tenaga buruh ini. 

     

    Penentangan para buruh secara sekilas tampaknya membuahkan hasil karena terperhartikannya kebutuhan-kebutuhan buruh, walaupun hal ini tidak juga bisa dilepaskan dari penerapan politik etik, seperti dibangunnya fasilitas-fasilitas layanan kesehatan untuk buruh dan jalur-jalur transportasi yang memudahkan mobilitas para buruh, tentu saja disamping memudahkan pengangkutan komoditi. Apa yang tak boleh diabaikan adalah bahwa kesejahteraan sosial pada hakekatnya merupakan salah satu cita-cita liberalisme. Namun demikian, cita-cita kesejahteraan sosial dalam liberalisme ini tak dapat dilepaskan dari upaya mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari meningkatnya produktivitas tenaga buruh melalui efisiensi dan mengefektifkan tenaga buruh. Model kesejahteraan semacam ini di mana negara memberikan insentif pada pengusaha secara tidak langsung melalui pemberian fasilitas pada buruh ini pada dasarnya tak berbeda dengan kebijakan subsidi pertanian oleh rezim Soeharto. Subsidi bibit dan pupuk untuk tanaman bahan pangan pokok, padi, adalah upaya untuk menstabilkan harga beras murah yang berkorelasi dengan mempertahankan upah buruh murah. Kelak, setalah tahun 1980-an, peran negara yang dikenal sebagai welfare state ala keynesian ini dilucuti oleh tibanya gelombang gagasan neo-liberalisme yang menghendaki hanya mekanisme pasarlah yang boleh mengambil peran dalam kebebasan ekonomi, apa yang dikenal sebagai fundamentalisme pasar.

     

    Malaise dan Kedatangan Jepang

    Depresi Besar 1930 memporak-porandakan proses struktural penanaman liberalisme ekonomi di Indonesia. Perkebunan-perkebunan besar di Jember yang tanaman komersialnya; tembakau, karet, kopi, coklat; yang mengandalkan pasar internasional untuk menyerap produk komoditinya mengalami limbung, bahkan runtuh. Bersama pengurangan produksi secara drastis dan penutupan perkebunan para buruh ikut terjerembab dalam kemelaratan yang dalam. Perekonomian yang diantarai uang yang secara berangsur mulai diterima, yang inheren dalam komodifikasi tenaga kerja, kehilangan tambatan paling penting yang menjamin bekerjanya mekanisme ekonomi kebutuhan dalam diri individu.

     

    Pada sisi lain kondisi Depresi mendorong timbulnya benih-benih radikalisasi petani dan buruh. Terguncangnya, bahkan runtuhnya, sistem pengupahan yang mengikat buruh dan majikan dalam suatu relasi produksi perkebunan mengakibatkan para buruh dan petani mengambil alih lahan-lahan perkebunan untuk kebutuhan subsisten dan memenuhi kebutuhan pasar lokal. 

     

    Kedatangan balatentara Jepang tahun 1942 semakin memperdalam kondisi yang digali oleh Depresi. Fasisme militeristis Jepang menghancurkan hampir seluruh lahan-lahan perkebunan untuk digunakan memenuhi kebutuhan perang dan kebutuhan pangan tentara.  Kesengsaraan rakyat semakin parah dengan pemusatan tenaga yang digunakan untuk kebutuhan perang melalui kerja paksa (rodi dan romusha).

     

    Masa Kemerdekaan Sampai Pasca-Reformasi

    Pasca Proklamasi kemerdekaan, Pemerintah Indonesia mewarisi kondisi ekonomi yang porak-poranda akibat fasisme Jepang dan Perang Kemerdekaan. Pemulihan ekonomi mengalami beban yang berat akibat hancurnya sebagian besar infrastruktur perekonomian, blokade ekspor-impor oleh Belanda, inflasi yang tinggi, dan sistem keuangan yang tak terintegrasi akibat beredarnya beragam mata uang. Selepas Konfrensi Meja Bundar (KMB) 1949 yang menghasilkan pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda, beban perekonomian nasional bertambah berat dengan pengalihan hutang-hutang Hindia Belanda kepada Indonesia, menanggung pembiayaan puluhan ribu bekas tentara Belanda dan KNIL.

     

    Pada sisi lain, situasi nasional yang berada dalam masa transisi membuat pemerintah tak dapat mengubah sekaligus tata hukum kolonial. Upaya untuk memulihkan ekonomi yang hancur akibat perang dan tuntutan mengganti sistem ekonomi kolonial dengan sistem ekonomi nasional tersandera oleh hasil KMB yang mengharuskan pemerintah meminta izin Belanda untuk mengambil kebijakan ekonomi dan beroperasinya kembali perusahaan Belanda. Dalam konteks perkebunan, hasil KMB tersebut tampaknya sejalan dengan rencana jangka pendek dan dan jangka panjang Badan Perancang Ekonomi tahun 1947 yang hanya mengambil alih aset ekonomi pemerintah Belanda namun memberikan peluang bagi perusahaan-perusahaan partikelir yang masih mempunyai hak erfpacht untuk kembali dan membuka perusahaan-perusahaan swasta lain untuk berinvestasi.      

     

    Kebijakan nasional mengenai beroperasinya kembali perusahaan perkebunan partikelir yang masih mempunyai hak erfpacht bagaimanapun tak sejalan dengan gerakan masyarakat di bawah. Setelah kepergian Jepang dan disusul Proklamasi gelora nasionalisme yang menggelombang terekspresikan oleh buruh-buruh dengan menduduki dan menggarap kembali lahan-lahan perkebunan dengan tanaman subsisten dan tanaman perkebunan untuk memenuhi kebutuhan pasar domsetik. Ikatan para buruh dengan lahan sebagai suatu kesatuan nasional, rakyat dan tanah airnya, dan diperkuat dengan riwayat pembukaan hutan, mendorong perasaan memiliki terhadap tanah-tanah perkebunan yang mereka garap. Di Ketajek, misalnya, para buruh selain menanami lahan-lahan perkebunan juga membangun perkampungan dengan berbagai fasilitas pendukungnya. Sementara perkebunan Sukorejo diubah fungsinya sebagai basis perlawanan militer Front Jember Timur. Pemogokan dan pembakaran fasilitas-fasilitas perkebunan menjalar ke sejumlah perkebunan di Jember. Resistensi para buruh perkebunan yang menolak kembalinya penguasaan lahan oleh para pengusaha perkebunan partikelir mencerminkan tidak sinkronnya antara kebijakan nasional dengan kehendak masyarakat buruh.

     

    Ketidaksesuaian antara kebijakan nasional dan kehendak masyarakat lokal yang didorong sebagian besarnya oleh kebutuhan subsisten terlihat dengan jelas dalam UU Darurat No.16 Tahun 1951 tentang pelarangan aksi pemogokan yang ditentang oleh elemen buruh. Hal ini, bagaimanapun, merupakan salah satu contoh bagaimana pemerintah yang merupakan pelembagaan proses redistribusi ekonomi berupaya mengintegrasikan masyarakat yang merupakan salah satu agen produksi ke dalam satu sistem ekonomi tertentu. Pada satu sisi pemerintah yang baru seumur jagung terhegemoni oleh sistem ekonomi internasional melalui hasil-hasil KMB yang memuat agenda-agenda liberalisme. Sementara, pada sisi lain, masyarakat yang selama ratusan tahun mengalami proses penghancuran sistem sosial-budaya yang disebabkan proses penanaman liberalisasi ekonomi yang memelaratkan mendapatkan momentumnya – secara berurutan peristiwa malaise, fasisme Jepang, dan Proklamasi – berupaya melepaskan diri dari dominasi yang membelenggunya. Namun demikian, tindakan melepaskan dari agenda liberalisme dengan membatalkan hasil-hasil KMB tahun 1956 dan disusul dengan memotong hubungan dengan IMF dan Bank Dunia mengakibatkan krisis ekonomi yang lebih dalam dan menghancurkan hingga berujung pada pergantian rezim politik. Sementara, Presiden Abdurrahman Wahid, Gus Dur, yang membangkang terhadap IMF, alih-alih mematuhi nasehat pengetatan anggaran oleh IMF justru mengambil kebijakan growth story, juga harus tumbang di tengah jalan. 

     

    Hal yang menarik adalah naiknya Gus Dur sebagai Presiden Indonesia disusul dengan maraknya pengambilalihan tanah-tanah perkebunan dan pinggir hutan oleh masyarakat. Tampaknya, sinyal kuat kebijakan ekonomi Pemerintah Gus Dur yang pro pertumbuhan dan pemerataan ekonomi yang juga menjadi isyarat berada di luar sistem ekonomi internasional yang dominan mendapat respon masyarakat secara radikal. Kasus-kasus sengketa tanah yang yang tumbuh sejak masa Depresi sampai Proklamasi dan direpresi dengan sangat keras oleh Rezim Soeharto mendapatkan momentumnya untuk bangkit.   


    Masalah pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi internasional yang menyebabkan ketegangan hubungan antara pusat dan daerah ini pada masa Orde Baru “diselesaikan” dengan mekanisme kekerasan. Rezim Soeharto yang berorientasi utama pada pembangunan ekonomi berkepentingan untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan untuk menjamin kondisi yang ramah bagi investasi swasta. 

     

    Liberalisme ternyata tak juga terbendung pasca Reformasi. Upaya agak meredam laju liberalisasi oleh pemerintahan Gus Dur dengan membangkang nasehat IMF yang tertuang dalam LoI, langsung atau tidak, menjatuhkan Gus Dur dari kursi kepresidenan. Setelah Gus Dur, Indonesia semakin dalam masuk ke dalam liberalisme yang ditandai dengan privatisasi BUMN, deregulasi peraturan untuk membersihkan hambatan pasar, pencabutan berbagai subsidi, dan lain-lainnya. Liberalisasi pasar yang, menurut Polanyi, membutuhkan pengorganisasian politik dimainkan dengan sungguh-sungguh oleh negara.  

     

    Sektor pertanian, pada sisi lain, belum majunya tekhnologi pertanian dan sebagian besar pertanian yang dikelola pada lahan-lahan kecil oleh petani gurem (79,4%) membuat proses produksi pertanian menjadi tidak efisien. Apa yang hendak dikatakan adalah bahwa liberalisme pasar yang bertumpu sepenuhnya pada mekanisme penawaran dan permintaan menutup mata terhadap kondisi-kondisi produksi yang timpang antara pertanian yang maju dengan pertanian yang dikelola pada lahan-lahan kecil. Situasi semacam ini tidak menguntungkan para petani gurem. Pada gilirannya pertanian menjadi sektor yang menyengsarakan dan memicu ditinggalkan. Pada kenyataannya, kita bisa lihat, wilayah-wilayah pedesaan yang merupakan kampung halaman petani gurem menjadi kantong-kantong kemiskinan.

     

    Pada konteks Kabupaten Jember yang sektor pertaniannya didominasi lebih dari 79,4%, petani yang mengolah lahan kurang 0,5 ha,  liberalisme pasar membuat sektor pertanian menjadi masalah, bukan hanya problem pendapatan tapi juga pada problem alih fungsi lahan. Rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian adalah Rp. 976.000 perbulan dan untuk menutupi kekurangan pendapatan untuk mencukupi kebutuhan mereka harus bekerja di sektor lain di luar pertanian. Sedangkan laju alih fungsi lahan selama lima tahun sebesar 1.080 m2 (Sensus Pertanian keenam 2013). Sementara pada data 2017 luas tanam lahan pertanian pada kategori tanaman utama terus mengalami penurunan, kecuali untuk lahan tanaman jagung. Sebagai gambaran, luas tanam lahan pertanian 170.395,0 ha pada tahun 2016 mengalami penurunan menjadi 165.697 ha pada tahun 2017, mengalami penyusutan 4.698 ha. Hal ini sudah pasti ikut mempengaruhi jumlah produksi sektor pertanian dan jumlah petani. 

     

    Mencermati jumlah petani gurem (menguasai lahan kurang dari 0,50 ha) sebesar 79,4% atau 257.248 rumah tangga pertanian, hal ini mengindikasikan ketimpangan penguasaan lahan pada sektor pertanian. Kondisi semacam ini berkontribusi membentuk struktur sosial pada masyarakat Jember, yang 51% lebih dari angkatan kerjanya bekerja di sektor pertanian, yang mencerminkan kesenjangan sosial yang lebar. Penurunan jumlah petani (rumah tangga pertanian) sebesar 30% selama sepuluh tahun, dari 465.055 pada tahun 2003 menyusut menjadi 325.633 pada tahun 2013 atau berkurang 139.422, kemungkinan besar dipengaruhi oleh ketimpangan penguasaan lahan yang tidak menguntungkan secara ekonomi maupun sosial bagi kelompok petani gurem. Hal ini juga dikonfirmasi oleh penurunan tajam jumlah rumah tangga pertanian yang megolah lahan kurang dari 0,10 ha, dari 234.111 tahun 2003 menjadi 104.725, turun sebesar 55% atau sebanyak 129.386. 

     

    Potensi yang mungkin dalam kondisi semacam ini adalah terjadinya alih lahan pertanian yang dibarengi dengan terjadinya alih kerja. Para petani gurem atau generasi berikutnya dari para petani gurem akan memasuki lapangan kerja sektor-sektor non pertanian, pindah ke pusat kota atau/dan pindah kerja ke kota-kota lain. Sektor-sektor industri dan jasa mungkin akan menjadi tujuan dari alih kerja tersebut. Berangkat dari lapisan masyarakat bawah yang memiliki halangan untuk mengakses pendidikan tinggi, sudah barang tentu, sebagian besar dari mereka akan menjadi tenaga kerja tanpa keterampilan yang akan menduduki lapisan terbawah dari hubungan produksi industrial. 

     

    Posisi lapisan bawah sosial, dalam hal ini petani gurem hanya menjadi salah satu contoh kasus, semakin terdesak masuk dalam bingkai liberalisme yang ekspansi pasarnya mengintegrasikan hampir seluruh produk kultural dan natural ke dalam barang komoditi. Mengonsumsi bukan hanya mengubah nilai interinsik barang komoditi menjadi bernilai guna, tapi juga mengubahnya menjadi nilai sosial. Apa yang dikonsumsi individu memberikan gambaran di mana posisinya dalam strukstur sosial. Untuk memberikan ilustrasi yang lebih jelas, kita bisa kembali ke masa Orde Baru yang mana kelompok masyarakat yang makanan pokoknya non-beras dianggap terbelakang. Interplasi untuk menjadi masyarakat maju/modern semacam ini pada akhirnya bukan hanya mengubah diet harian, tapi sekaligus mengubah sistem ekologi lokal dan sistem sosio-kultural kelompok masyarakat tersebut serta tak jarang mengubah kemandirian pangan menjadi ketergantungan pangan. 

     

    Interplasi untuk menjadi masyarakat maju/modern pada hari ini mengalami peningkatan dalam perluasan dan kedalamannya sehingga penghindaran-penghindaran hampir mustahil dilakukan. Mari kita ambil contoh yang lebih mutakhir: kebutuhan untuk mendatangi spot-spot yang instagramable pada dasarnya bukan didorong semata oleh kebutuhan rekreatif yang bersifat personal, tapi juga, bahkan lebih besar, didorong oleh interplasi untuk menjadi modern, untuk menunjukan bahwa mereka bagian dari masyarakat maju. Namun demikian, upaya mobilitas vertikal secara simbolik ini kerap menjadi sia-sia, saat massa jelata berbondong-bondong mendatangi spot-spot populer, lapisan elite justru memburu lokasi-lokasi tersembunyi yang kerap dikenal sebagai istilah escape. Inilah salah satu mekanisme untuk mengintegrasikan, atau lebih tepatnya meringkus, seluruh lapisan masyarakat ke dalam masyarakat liberal.    

    ***

     

    Sebelum tulisan ini berakhir, saya kira harus dinyatakan di sini bahwa tulisan ini disusun berdasarkan kajian pustaka. Pembaca dapat menelusuri sumber pustaka yang disajikan setelah tulisan ini untuk mengonfirmasi dan mengomparasi isi tulisan.

     

    Saya berharap tulisan ini dapat menjadi titik keberangkatan untuk membuka upaya-upaya kajian yang lebih rinci dan kritis.

    ***

     

    ---------------------------------------

    (*) Dwi Pranoto adalah seorang yang aktif puluhan tahun di dunia seni dan budaya, juga mantan wartawan. Kini sibuk menerjemahkan berbagai literatur budaya dan telah kerjasama dengan banyak penerbit di Jogja dan Jakarta.

     ---------------------------------------

     

    Daftar Pustaka

    • Aprianto, Tri Chandra; Dekolonisasi Perkebunan di Jember: Tahun 1930an – 1960an; Tesis, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Juli 2011
    • Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember; Potret Usaha Pertanian Kabupaten Jember Menurut Subsektor (Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2013 dan Survei Pendapatan Usaha Rumah Tangga Pertanian 2013) ; Statistik Kesejahteraan Kesejahteraan Kabupaten Jember 2017
    • Howard Dick, Vincent J.H. Houben, J. Thomas Lindblad, Thee Kian Wie; The Emergency Of National Economy: An Economic History of Indonesia, 1800 – 2000; Asian Studies Association of Australia in association with Allen & Unwin and University of Hawi’i Press, Honolulu, 2002 
    • Margana, Sri; Ujung Timur Jawa, 1763 - 1813: Perebutan Hegemoni Blambangan; Pustaka Ifada, Yogyakarta, 2012 
    • Pemerintah Kabupaten Jember; Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Jember 2016
    • Peraturan Daerah Kabupaten Jember No.1 Tahun.2015 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jember Tahun 2015 – 2035 dan Lampirannya
    • Polanyi, Karl; The Great Transformation: The Political and Economic Origin of Our Time; Beacon Press, Boston, 2001  
    • Sudjana, I Made; Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad XVII; Larasan Sejarah, 2001
    • Wasino and Nawiyanto; Plantation and Peasant Economy in Java Indonesia: A Comparative Perspective on Western and Indigenous Enterprise in Jember and Mangkunegaran during The Colonial Period; Asian-Agri History Vol.21, No.1, hal. 1-14, 2017
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Wisata

    +